Prefect Strangers
Cuaca dingin malam ini, cukup
membuat misa malas untuk keluar. Tapi apa daya, dia tidak bisa membiarkan
perutnya terus berbunyi untuk meminta makan.
Tangan misa merogoh ke dalam
mantelnya, berusaha mencari handphone-nya yang berbunyi. “Hallo? Ma?” terdengar
suara wanita di sebrang telepon. “iyah ma, paling tidak, akhir bulan ini, aku
udah di Jakarta kok…” balas misa berusaha menenangkan ibunya yang terdengar
khawatir. “iyah, aku usa…..”
BRAK!
Tiba tiba saja seorang pria
tinggi tanpa sengaja menabraknya dan membuat handphone-nya terlempar jatuh.
Mata misa melotot melihat handphone-nya
yang sudah tidak berbentuk. Aneh! Dia hanya tertabrak orang, kenapa handphone-nya
bisa hancur seperti itu. Sekeras apa tadi dia melempar?
“Astaga” teriak pria itu yang
juga terkejut melihat handphone misa hancur.
“Heh!” bentak misa, suaranya
parau. “kemana matamu? Lihat itu!”
“ahhh…. Maaf, aku benar-benar
minta maaf, aku hanya sedang terburu-buru”
Misa terdiam sejenak melihat
wajah pria yang ada di depannya. Melihat Pria itu berjongkok untuk mengambil handphone-nya,
misa pun ikut menunduk “Sudahlah…” tapi, saat itu juga tangan misa di tahan
oleh pria itu, “sepertinya handphone mu rusak parah” misa melihat pria itu
sekilas, “biar aku ganti yah?” tawar pria tersebut.
“tidak usah” jawab misa cuek, dan
segera berdiri.
“tunggu, aku merasa tidak enak,
ini” pria itu memberikan kartu namanya kepada misa, “telpon aku, atau kau bisa
datang ke kantor ku.”
“aku bilang tidak usah” ketus misa
seraya mengembalikan kartu nama itu. Dan pergi meninggalkan pria itu.
Sepertinya pria itu tidak peduli
lagi, pikir misa yang mulai menyesal karena bersikap ‘jual mahal’. Misa terus berjalan menjauh seraya melihat
sekilas ke arah kaca toko, untuk memastikan pria itu. Tapi, pria itu seperti
sedang menelpon seseorang dengan gelagat terburu-buru. Misa terus berjalan
lurus. Sebenarnya dia juga bingung mau kemana? Tujuan utamanya kan mau makan,
tapi mungkin lebih baik, dia cari telpon umum untuk menghubungi ibunya yang dia
yakin sekarang sedang khawatir padanya.
“Heii! Tunggu sebentar….”
Pria itu berlari untuk
mensejajarkan langkahnya dengan misa. “baiklah! Kita pergi sekarang…”
“hmm?” misa memiringkan
kepalanya, bingung. “maksudnya?”
“kita beli handphone-mu yang
baru.”
“Apa??” spontan misa kaget lalu
tertawa geli, “aku tidak memintamu mengganti yang baru. Bukannya kau sendiri
yang bilang, kau sedang terburu-buru… pergilah, aku tidak akan menuntutmu.”
Pria itu tersenyum mendengar
jawaban misa, “aku juga tidak yakin, kau akan berbuat seperti itu… aku hanya
tidak bisa meninggalkan perempuan dengan hati gondok”
Misa membulatkan matanya, perutnya
seperti merasa geli mendengarkan perkataan pria itu. “Apa aku terlihat seperti
itu?”
“hahahaha, itu tidak akan
terlihat jelas jika kau tersenyum saat ini.”
“HAHA.. apa kau sekarang sedang
menggodaku?
“Sedikit…” balas pria
menyeringgai, “ayolah, aku masih ada waktu untuk membeli handphone-mu!”
balasnya seraya berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan toko. Misa
mengikutinya, sepertinya dia mulai terlarut.
‘Tunggu, ini ada yang salah tapi kenapa kaki-ku tidak mau berhenti
untuk ikut dengannya. Oh iya, ini hanya demi handphone baru, aku yakin tidak
lebih.’
credit here
---------------------------------
“Tuuuuuut…. tuuuuuut…tuuuut” euncha
terus menunggu jawaban dari telponnya.
KLIK
“Haa.. lagi-lagi dimatikan, ada
apa sebenarnya denganmu?“ ucapannya terpotong saat mendengar bunyi handphone
berdering. Dengan cepat euncha mengangkatnya, “Kazuya??”
“ehem…”
“hm?” euncha terdiam, dia segera
mengecek nama di layar handphone-nya ‘Kim’. Euncha menggigit bibirnya, kaget. “Aa,
kim, ada apa?”
“Euncha, bisa kita ketemu?” tanya kim langsung.
“Sekarang?”
“Aku akan sampai di toko-mu sekitar 15 menit”
Euncha terdiam sejenak, “Ok kim, Datanglah…”
---------------------------------
Misa masuk ke dalam restaurant yang cukup ramai, ‘ah ya ini jam makan siang,
jadi pasti ramai’ pikir misa singkat. Matanya terus mencari dua sosok
sahabatnya yang sudah daritadi menunggu-nya.
“Misaaa siniiii…”
Misa yang melihat lambaian tangan
sahabatnya segera menghampirinya.
“Tesaaaa… Maaf yaa aku telat,
hmmm mana euncha?”
“Tuh…” jawabnya seraya
menunjukkan arah dengan bibir dan matanya.
Misa melihat kearah ujung
restaurant, melihat euncha yang masih sibuk dengan handphone-nya, seperti
sedang menerima telpon.
“Dia berusaha menghubungi kazuya
dari minggu lalu, tapi sepertinya dia berhasil kali ini.” Ucap tesa
menjelaskan.
Misa mengangguk paham, “Semoga
tidak ada masalah.”
“Yaaa… sejujurnya, aku merasa
kasian dengan euncha. Ini bukan pertama kalinya kazuya bersikap bocah dengan
tidak mau menghubungi euncha. Aneeeh…”
“Sudahlah, mungkin dia punya
alasan. Ahh yaaa.. mana undanganmu?”
“Oh iya, Ini… heheheh kau harus
datang! Aku tidak akan mau bertemu denganmu lagi jika kau tidak muncul dalam
pernikahanku.”
“Ck… jangan membuatku takut
seperti itu.”
“Aku serius.”
“Hahahah..” Misa tertawa melihat
kartu undangan ditangannya, “Apa hanya ini ekspresi yang dimiliki juki? Kenapa
terlihat tertekan sekali?”
“Haaa.. aku sudah bilang untuk
terlihat santai, tapi hasilnya malah kaku seperti itu. Aku juga kesal
melihatnya.”
“Misa.. Tesa..” Sapa euncha
seraya menggambil tas tangannya, “Maaf ya, sepertinya aku harus buru-buru ke
toko, ada urusan.”
“Tunggu, aku baru datang dan kau
sudah mau pergi?”
“Haaah… sudah aku bilang, kenapa
kita tidak bertemu di toko-ku saja? Aku akan punya banyak waktu untuk kalian
disana.”
“Toko-mu terlalu jauh dari kantor
misa, makanya aku mencari tempat tengah antara toko-mu dengan kantor misa.”
Jelas Tesa, singkat.
“Ya sudah, lain kali kita ketemu
lagi, aku benar-benar ada perlu.”
“Apa kau akan bertemu kazuya?”
tanya Tesa penasaran.
Euncha mendecak kesal mengingat
kazuya yang mematikan telponnya tadi. “Tidak, dia masih tidak bisa dihubungi?”
“MASIH?”
Misa melihat ekspresi tesa yang
terkejut, dan kembali melihat euncha yang mengangguk lesu.
‘Tunggu, apa aku
harus jujur pada euncha kalau minggu kemarin aku bertemu dengan kazuya?’ pikir
misa ragu.
“Sudah yaa.. aku pergi dulu.
Daaahhh..” euncha segera melangkah keluar meninggalkan kedua sahabatnya.
Zzzztttt…. Zzzztttt…
Misa mengambil handphone-nya yang
bergetar di meja, melihat nama di ponselnya, ‘Renan?’ Dia berpikir sebentar,
lalu mengangkatnya, “Halo?”
“Heii…”
“….”
“Gimana kabarmu?”
“…”
“Halo?”
“…”
Kali ini terdengar suara pria
mendesah panjang, “Kau pasti lupa padaku, padahal baru semalam. Yasudahlah,
maaf mengganggumu.”
“Tunggu,” tahan misa cepat, “Apa
kau yang kemarin malam menabrakku.”
“HAH?? Kau tertabrak??” Tanya
tesa kaget mendengar percakapan misa.
Misa melihat ke arah tesa seraya
menempelkan telunjuknya untuk memberikan isyarat diam pada tesa.
“Kau sedang bersama temanmu?”
tanya Renan disebrang telpon.
“Yaa, kami sedang makan siang
diluar, jadiii… kau yang semalam?”
“Ah ya, Aku baru ingat kalau kita
belum sempat berkenalan.” Renan berdaham pelan, “Ini agak sedikit lancang, tapi
karena kau sudah tau nama-ku, boleh aku tau nama-mu?”
“Hahaha… misa, namaku misa.”
Tesa melongo melihat percakapan
misa di telpon, ‘Dia tertabrak, tapi dia baik-baik saja dan sekarang mereka
berkenalan. Tabrakan macam apa itu?’
“Hmm… misa, aku ada urusan saat
ini, tapi… apa aku masih bisa menghubungi-mu lain waktu?”
Misa terdiam sejenak, seperti ada
ulat diperutnya, pertanyaan pria di sebrang telponnya benar-bener membuatnya
geli. Sangat kaku dan canggung, dan misa sangat membenci hal itu.
“Ya tentu saja.” Balas misa
singkat. “Ok.” Jawabnya lagi seraya menutup handphone-nya.
“Siapa?” tanya tesa tak sabar
“Sebentar, ceritaku akan sangat
panjang, biar aku pesan makananku dulu.”
“Kalau begitu cepat” ucap tesa
yang segera memberikan menu makanan pada misa.
No comments:
Post a Comment